Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi
Allah dan masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan
pelbagai gelaran mulia dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan
dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan makhluk-Nya.
Mereka digelari sebagai "al-Raasikhun fil Ilm" (Al Imran : 7), "Ulul
al-Ilmi" (Al Imran : 18), "Ulul al-Bab" (Al Imran : 190), "al-Basir"
dan "as-Sami' " (Hud : 24), "al-A'limun" (al-A'nkabut : 43), "al-
Ulama" (Fatir : 28), "al-Ahya' " (Fatir : 35) dan berbagai nama baik
dan gelaran mulia lain.
Daya usaha untuk memperoleh ilmu melalui pelbagai sumber dan
pancaindera yang dikaruniakan Allah SWT membimbing seseorang ke arah
mengenal dan mengakui ketauhidan Rabbul Jalil.
Ini memberi satu isyarat dan petunjuk yang penting bahwa ilmu
mempunyai keterkaitan yang amat erat dengan dasar akidah tauhid.
Orang yang memiliki ilmu sepatutnya mengenal dan mengakui keesaan
Allah SWT dan keagungan-Nya. Hasilnya, orang yang berilmu akan
tunduk, kerdil dan hina berhadapan dengan kekuasaan dan keagungan
Allah SWT .
Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-
orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana".
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir membuat suatu rumusan yang
menarik bahwa apabila Allah SWT menyandingkan "diri-Nya" dengan para
malaikat dan orang yang berilmu tentang penyaksian "keesaan Allah
SWT dan kemutlakan-Nya sebagai Tuhan yang layak disembah", hal
tersebut adalah suatu penghormatan agung secara khusus kepada orang-
orang yang berilmu yang sentiasa bergerak di atas rel kebenaran dan
menjunjung tinggi prinsip ini serta berpegang teguh dengannya dalam
semua keadaan dan suasana.
Rekaman penghormatan ini kekal sebagaimana kekalnya kitab wahyu ini
sebagai peringatan kepada golongan berilmu bahwa mereka amat
istimewa di sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para
malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah SWT. Mereka memikul amanah
Allah SWT karena mereka adalah pewaris para nabi.
Sifat ikhlas, berani, dan tegas serta sentiasa istiqamah akan selalu
ada dalam diri orang yang berilmu. Mereka tidak mengharapkan
ganjaran, sanjungan, dan pujian dari manusia. Keikhlasan mereka
adalah hasil daripada ramuan kecintaan dan keyakinan kepada prinsip
kebenaran yang menjadi tonggak pegangan mereka.
Orang yang berilmu amat menjunjung tinggi prinsip kebenaran. Mereka
tidak menafikan kebenaran dari pihak lain dan tidak pula merasa
kebenaran hanya mutlak ada pada dirinya. Berlapang dada dan merendah
diri adalah akhlak murni orang yang berilmu.
Mereka tidak melihat dari siapa atau dari golongan mana kebenaran
tersebut berasal. Kebenaran sejati yang menjadi pegangan mereka
adalah apabila datangnya daripada nash al-Quran al-Karim dan as-
Sunnah an-Nabawiyyah. Sebagaimana keikhlasan Imam Malik yang
mendorongnya mencegah Khalifah al-Mahdi dan al-Rashid yang akan
menjadikan kitab karangannya al-Muwatta' sebagai undang-undang dasar
kerajaan. Sebagaimana juga kerendahan hati Imam al-Syafi'i yang
pernah menyatakan bahwa :"Barang siapa yang mendapati hadits
Rasulullah saw (yang shahih) yang tidak sesuai dengan pendapatku,
maka menjadi kewajibannya untuk mengikuti nash hadis shahih tersebut
dan meninggalkan pendapatku".
Keberanian orang yang berilmu adalah hasil keyakinan teguh kepada
kekuatan dan kekuasaan Allah Rabbul Jalil. Firman Allah SWT:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama[Orang-orang yang berilmu]. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun." (Fatir: 28)
Orang-orang yang berilmu memiliki keyakinan bahwa hanya Allah yang
Maha Berkuasa atas sekalian makhluk-Nya. Kehinaan di sisi manusia
karena mempertahankan prinsip kebenaran dipandang lebih baik dan
mulia daripada kehinaan di sisi Allah SWT karena menampik kebenaran
hanya untuk menarik perhatian dan mendapatkan pujian manusia. Mereka
amat yakin bahwa menyatakan kebenaran dan perkara hak adalah amanah
Allah SWT dan mereka pun mengetahui resikonya amat besar.
Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang
menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka
itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang
dapat melaknati." (al-Baqarah: 159)
Rasulullah saw bersabda:
"Janganlah sekali-kali wibawa manusia sampai menghalangi seseorang
untuk mengatakan sesuatu yang hak jika ia mengetahuinya,
menyaksikannya, atau mendengarnya. Sebab tindakannya itu tidak akan
mendekatkan ajal dan tidak akan menjauhkannya dari rezeki." (HR
Ahmad)
Rasulullah saw juga bersabda:
"Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali mulutnya oleh
Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu
Hibban di dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim.
Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadits ini sahih)
Orang yang berilmu mengetahui bagaimana kerusakan yang akan timbul
dari amal yang tanpa ilmu, sebagaimana yang dikatakan khalifah Umar
bin Abdul Aziz "Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu
maka dia banyak merusak daripada memperbaiki"
Yang menjadi panutan orang-orang berilmu adalah Rasulullah saw dan
para sahabat beliau yang mulia. Karena hanya dengan mengikuti jalan
Rasulullah dan para sahabatlah yang akan memasukkan seorang muslim
kedalam golongan yang selamat. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw:
"Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu)
yang aku dan para sahabatku meniti diatasnya"(HR Tirmidzi)
Imam Bukhari dalam kitabnya "Berpegang Teguh pada Kitab dan Sunnah"
memberi judul salah satu dari sekian bab (yang artinya): "Nabi saw
mengajarkan kepada umat-nya, baik laki-laki maupun wanita, apa yang
diajarkan Allah kepadanya tanpa menggunakan pendapat atau pemisalan."
Al-Muhallab berkata ketika mengomentari bab Bukhari ini: "Maksud
Bukhari bahwa seorang yang berilmu apabila dia berbicara dengan
menggunakan nash, tidak perlu lagi berbicara berdasarkan pendapat
dan qiyasnya (analogi)."
---------------------
*Dari berbagai sumb
Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh
manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya
adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas
yang engkau mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar